Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuna.
Oleh EDI S. EKADJATI.
(Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni 2005).
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang
Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut
merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan
ajaran agama Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam
naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan
sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang
ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna
itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis
sekarang.
Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan
sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan
kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan
Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat
Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan
Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh
pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar
lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A.
Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah
(Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya
ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana
niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam
kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat
kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa).
Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda
lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Buana niskala adalah alam gaib sebagai
tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam
imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari,
dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu
dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana
niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.
Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari
Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai
penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya
di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung
Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya,
antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah
Patala, Bidadari Sedajati.
Buana jatiniskala adalah alam
kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya
adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta
yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban
dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak
terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya
masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya
berbeda.
Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan
kosmoligi Islam. Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5
alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam
akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan
kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam
rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum
lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang
juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah
mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan
kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan
gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna
mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena
itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya,
baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak
mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke
alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia,
tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali
ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan,
tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan
(2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu
dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).
Yang menentukan tempat seseorang sesudah
kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia.
Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan
perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi
ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan
reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan
perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan
larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang
menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling
menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal
yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak
kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep
Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di
alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam
dunia.
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang
menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana
jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420
diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di
bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat
kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring
manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang
berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling
tinggi derajatnya.
Kropak 420 membuka penuturannya dengan
pernyataan dan pertanyaan, “Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na
bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?” (Berjalan
teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan
sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).
Jawaban atas pertanyaan tersebut
dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), “Ka
saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma
dina laku tuhu, na jati mahapandita,” (Kepada siapakah mohon
pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di
kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli
agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia
mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, “Samar ku rahina
sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja
kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah,
kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa
wisisa.” (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas,
terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh
segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh
keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan
mulia).
Ajaran moral keagamaan dibahas dalam
bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam
Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan
bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun
di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing
sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad)
yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu
menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai
kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke
kodratnya bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa
manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus,
jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi
sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan,
janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya
yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang
benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat
kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah!
Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal
kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah
perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya
mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah
“Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak
ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata
papag, pregi ngajuk ngajalanan,” (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi,
berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang
suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani
mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut
rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang
arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada
kurang, kusa madi sarba pala).
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana
niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi,
batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan
kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan
kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang
berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini,
adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat
amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di
Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara
murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak
yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai
penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma
itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi
derajatnya lebih rendah dari manusia.
Bahwa yang berada di buana jatiniskala
itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik
keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan,
dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah, “Ah ini Si Ijunajati. Ah lain
kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal
tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa
aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu
bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing.” (Ah inilah Si Ijunajati.
Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah
itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku
sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri,
kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri,
pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan
ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
“Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu
wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata
manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci
jatinistmen.” (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa
melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada
yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai
pengikut hakikat kebenaran sejati).
Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana
dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga, “Wijaya ta sira hasta, na
bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana
aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan
hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip.”
(Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa
udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada
tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa
langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah satu kelompok penghuni buana
niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari,
bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang
berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya, “Ti nu wisisa
leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti
nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala
rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.” (Dari yang berkuasa unggul,
dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang
sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus,
dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna
bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).
Di dalamnya diungkapkan pula tentang
makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika, “Bayu dibaywan deui, sabda
disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang
dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit
dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui,
leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui.” (Kekuatan diper
kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup
dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi,
kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi,
pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan
lagi).
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak
bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk
pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih
ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya,
yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana
jatiniskala yang abadi.
Oleh EDI S. EKADJATI – Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni 2005Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar